Rabu, 20 Agustus 2014

Cerpenku : Seseorang di Persimpangan



Seseorang di persimpangan
Mengajariku tentang keikhlasan
Bukan lari dari masalah
Seseorang di persimpangan
Mengajariku melupakan hati yang dulu pernah pilu
Seseorang di persimpangan itu, kamu.

Bruk, “Aw...”
Kertas yang ku pegang jatuh. Mataku hanya memandangi sepatunya yang masih tampak baru.
“Hei, kok bengong sih?” tanyanya.
“Oh, ya.” Jawabku.
“Ini.”Katanya, sambil menyodorkan kertasku yang jatuh.
“Tumben kamu berangkat pagi?” tanyaku
“Oh, iya aku ada jadwal piket.” Jawabnya

Laki-laki itu, kita dekat sejak satu setengah tahun yang lalu. Dia Handi.
“Aku ke kelas dulu, ya?” kataku.
“Oke, nanti pulang sekolah ada rapat redaksi. Ifa pesan gitu sama aku.” Ingatnya.
“Oh, iya Han. Tadi Ifa udah sms aku. Makasih udah diingetin.” Kataku.
“Iya, sama-sama.” Balasnya.
Aku pun setengah berlari menuju kelas, melewati koridor sekolah yang masih tampak sepi. Mungkin masih terlalu pagi. Fine, minggu ini aku dikejar deadline lagi. Yah, harus nglembur lagi buat rubrik mading sekolah.
***
Teng-Teng-Teng...
Setengah hari disekolah telah ku lewati. Seperti yang lain, aku merapikan mejaku dengan segera dan meniggalkan kelas bersama Zian. Langkahku sedikit berlari, tapi kata Zian gak ada bedanya saat aku lari ataupun aku jalan. Yah, mungkin kalau aku lari. Zian bisa menyamakan langkahnya di sebelahku dengan berjalan. Itulah Zian, teman sebangkuku. Lebih dari itu, dia seperti saudara perempuanku. Meski lahir dari Ibu yang berbeda, kadang mereka lebih mengerti diri kita dari pada saudara kita sendiri. Itu yang pernah ku ucapkan pada Zian.
“Ayo, Ndin!” perintahnya.
“Ini udah cepet, Zi.” Sahutku. Aku berjalan di belakangnya, mencoba menyamakan langkah kakiku dengannya.
“Itu, udah ditungguin Ifa di gazebo.” Katanya.
“Iya, ya udah hati – hati kalau pulang. Aku nyamperin Ifa dulu.” Kataku sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Langkahku menuju ke tempat dimana Ifa duduk. Terlihat dia sedang membolak-balik majalah yang baru diserahkan oleh editor kemarin.
“Hai, Fa.” Sapaku.
“Hai, Ndin. Lama banget, emang jam terakhir tadi jam pelajarannya siapa ?” tanyanya.
“Hehe, biasalah Fa. Jam pelajaran Biologi.” Jawabku dan sedikit tertawa.
“Ini majalah yang mau diterbitin, Ndin. Coba kamu baca lagi, menurut kamu gimana sama covernya ?” pinta Ifa.
“Oh, udah di kasih editor ya, Fa?” tanyaku sambil membaca majalah itu.
“Kalau menurut aku sih, udah bagus kok. Ukuran fontnya aja ada yang gak sesuai sama halaman. Dari pada banyak yang sisa, kenapa gak kita perbanyak aja rubriknya?” Saranku.
“Bener juga tuh, tapi ditambah rubrik apa lagi ya?” tanya Ifa.
“Wah, kalau itu cobak kamu tanyak sama kru yang lain. Aku lagi fokus sama mading.” Jawabku
“Yah, Andin. Ya deh, ntar aku share lagi sama yang lain.” Kata Ifa.
“Kasih aja job ini ke tim kreatif. Mungkin mereka bisa kasih yang lebih attractive lagi.” Tegasku.
“Ok deh, ya udah kalau gitu kita pulang yuk ! Udah sore, pasti kamu udah ditungguin Handi di depan.” Ajak Ifa.
“Iya fa, gak kerasa udah sore juga.” Balasku.
 Aku dan Ifa pun melangkah menuju gerbang, ternyata sekolahan ini masih cukup ramai meski hari menjelang senja. Bangunannya yang sudah tua meniggalkan sisa-sisa air hujan dikoridor sekolah. Tapi langkahku sama sekali tak peduli, kasihan Handi. Mungkin tampang laki-laki itu sudah kelihatan kucel karena lama menungguku pulang.
***
Perjalanan dari sekolah ke rumah menghabiskan waktu yang cukup lama. Dan kita menikmati waktu senja itu. Aku lebih banyak diam, mengamati langit merah yang lebih dominan di ujung barat.
“Han, besok jadi ikut ?” kataku.
“Kemana?” tanyanya.
“Pergi ke situs sejarah sama Iqbal, Akila, Gadis, sama Jo juga.” Jawabku.
“Jam berapa, Ndin?” balasnya.
“Pulang sekolah. Aku tunggu di gazebo, nanti kita berangkat sama yang lain.” Kataku
“Iya.” Jawabnya.
Suasana hening kembali terasa sampai di depan rumah. Mata ku memandanginya pergi, sampai ia benar-benar hilang dari pandanganku.
***
Usai makan malam, aku mengambil secarik kertas dan pensilku. Lalu aku duduk di teras rumah. Dan menulis, ...

Hening, Kamu bukan sekedar nuansaku malam ini. Benda kecil itu yang dulu mempertemukan kita. Materai, membuat kita lebih dekat. Taukah kamu? Sejak kapan perasaan kita mulai beradu. Menjajaki kemana nuansa itu berlabuh.Manis, suka, dan duka. Di bawah terik, ditemani hujan dan kedinginan. Banyak cerita, tentang rasa, dan tentang kita. Kamu pernah memaksaku memakai jas hujan. Sedang tubuhmu sendiri kaku.
Aku menghela napas. Merasakan bagaimana dinginnya tubuhmu.Tak ada ucapan yang terlontar setelah itu. Namun, senyummu cukup meredakan rasa khawatirku. Sayang, semuanya terlalu singkat. Saat semua itu dipatahkan oleh waktu, hening.
***
Empat jam kemudian, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku ketempat tidur. Tiba – tiba nada dering ponselku berbunyi. Ada sms masuk dari Handi.
From: Handi
Ndin,

Received :
10:09 pm
Today

Gak biasanya Handi sms malam-malam gini,
“Iya, Han. Ada apa?” balasku.
Lama sekali, tak ada balasan lagi dari Handi. Lagi trouble mungkin. Okelah, mataku sudah benar-benar ngantuk sekarang.
***
Pagi ini, KBM Semester Satu telah berakhir. So, tinggal class meeting. Mungkin jam segini sekolah masih tampak sepi karena sebagian muridnya memilih untuk berangkat lebih siang. Dari kejauhan aku mendengar suara seseorang memanggilku.
“Ndin ...” suara itu, Zian.
“Hai ...” teriakku sambil melangkah kearah Zian dan Gadis duduk.
“Zi, aku tadi malem mimpi lagi.” kataku
“Mimpi apa, Ndin?” tanya Zian.
“Aku mimpi putus sama Handi.” Kataku.
“Kok mimpi gitu terus?” tanyanya.
“Iya, Zi. Apa emang akan kejadian seperti itu, ya?”Jawabku.
“Ya, kita berdoa aja, Ndin. Kalau itu yang terbaik, mau gak mau kamu harus siap.” Balasnya.
“Aku juga baru ngerasa kalau hubungan ku sama Handi lagi pasang surut. Kita lebih sering berantem akhir-akhir ini.” Kataku.
“Kalau menurutku kamu terlalu posesif, Ndin. Kurangi dikitlah, sayang. Dia kan juga butuh kebebasan.” Sarannya.
Seperti itukah aku selama hampir dua tahun ini. Bukannya Handi yang terlalu sibuk sama ekskulnya, ikut ekskul inilah, itulah. Batinku.
“Hey, udah dong gak usah terlalu dipikirin. Handi juga gak mempermasalahkan mimpi kamu kan?” tanya Zian.
“Enggak juga sih, nanti aku coba ngomong sama Handi.” Jelasku.
“Yah, apapun keputusan kalian. Semoga itu yang terbaik ya, Sayang.” Pesannya.
“Hemh...” desahku sambil menghela napas panjang.
Oh, tidak. Aku hampir lupa kalau siang ini aku punya janji sama Akila.
***
Class meeting pun berakhir, aku, Akila, Jo dan teman-teman yang lain menunggu Handi di gazebo. Kemana dia? Sepasang mataku masih mencarinya. Tak lama kemudian, aku menemukannya. Aku melihatnya dari jauh. Tapi, kenapa dia gak ke sini? Bukannya dia sudah janji mau ikut. Kakiku terasa enggan sekali untuk menghampirinya diantara kerumunan kecil itu. Tiba-tiba aku melihat sosok Egi berjalan di depanku.
“Gi, kalian mau kemana?”tanyaku.
“Aku mau ke acara ulang tahunnya Brian, Ndin.”jelas Egi.
“Sama Handi juga?”tanyaku lebih jelas.
“Iya, Ndin. Aku kesana dulu ya !” Kata Egi sambil berlalu meniggalkanku.
Tapi, kenapa dia sama sekali tak menghubungiku, sekedar sms mungkin. Aku rasa itu cukup.
“Ndin, kita berangkat tanpa Handi bisa kan?” tanya Jo.
“Emh, bisa kok.”jawabku.
Kita pun berangkat, meninggalkan gazebo, bangunan sekolah yang sudah tua itu, tempat parkir, dan Handi. Entah apa mimpi itu akan jadi kenyataan atau apalah, terserah. Aku tidak peduli.
***
Sesampainya di pura, aku hanya mengikuti mereka dari belakang sambil mencoba memotret beberapa tempat yang aku anggap penting saat itu.
“Ndin, bengong mulu dari tadi?”Tanya Iqbal.
“Gimana gak bengong, kan biasanya kemana-mana sama Handi. Sekarang mana Handi nya?”Sindir Jo.
“Udah dong, Ndin. Kalian juga perlu waktu buat sendiri. Kamu sama kita-kita, dan Handi sama teman-temannya.”kata Akila.
“Iya, iya.” Kataku.
“Foto yuk !” ajak Akila.
“Di situ aja !” kata Jo sambil mengarahkan telunjuknya ke anak tangga pura yang kita kunjungi.
“1, 2, 3, Ok.” Kata Iqbal.
Suasana pura saat sore tak membuat bangunan itu nampak menyeramkan, hanya saja ada sebagian tempat yang perlu dirawat dan dijaga lagi kebersihannya. Bangunan ini masih terlihat kokoh, mungkin ada sebagian dari bangunan itu yang sudah direnovasi dari bentuk aslinya. Terlihat dari batu bata yang digunakan, serta teknik-teknik penyusunan gapuranya tampak lebih modern.
***
Sampai dipintu rumah, Bang Aldi sudah mondar-mandir ke sana ke mari. Dan entahlah, aku merasa sama sekali tidak bersalah karena pulang sore lagi. Biasanya Ibu yang mondar-mandir di depan rumah. Tapi, kenapa sekarang jadi ada abang yang siap buat ngomel-ngomel lagi ? Agrrrh, lengkaplah omelan-omelannya hari ini.
“Dari mana saja, Ndin.” Tanyanya.
“Ke Pura sama Iqbal, Akila, dan Jo.” Jawabku.
“Tumben gak sms abang?” Tanyanya lagi.
“Udah sms Ibu tadi, Bang.”Jawabku sambil melaluinya.
“Ibu sama ayah pergi ke Semarang, mungkin lusa baru pulang.”Jelasnya.
“Hah, kenapa gak kasih tau aku?”tanyaku kaget.
“Salah sendiri, kenapa ponselmu gak aktif?” katanya.
“Oh, iya tadi... Ah, udahlah Bang. Andin mau ke kamar dulu.” Balasku.
***
Oh, ya... rupanya pertanyaan Bang Aldi mengingatkanku... Tapi apa ya? Ponselku, dimana ponselku? Sama sekali tak ada pesan darinya. Kemana laki-laki satu itu. Biarlah...
Matahari benar-benar menenggelamkan tubuhnya, mataku tetap mengamati ke luar jendela. Menikmati bau tanah basahnya gerimis. Well, tubuhku merasa lebih dingin dari biasanya. Namun tetap saja, jendela masih terbuka lebar. Sedang angin terus saja berlalu memasukinya, melewati celah-celah besi yang telah nampak usang. Dan mataku terpejam hingga pagi menjelang.
***
Seharian kemarin gak ada kabar dari Handi. Ya, ya ya ya... mungkin dia pekan ini lebih sibuk dari biasanya. Tapi tetap saja aku masih mencari dimana sekarang dia berada. Nothing. Hey, kemana saja laki-laki itu. Gumamku.
“Ndin,...” sapa seseorang dibelakangku.
“Hey, Han...” sudah, cuma itu saja yang bisa aku lontarkan, hatiku tak sampai untuk menanyakan kemana saja dia kemarin.
“Maaf ya, kemarin aku gak sempet kasih kabar ke kamu. Kemarin aku pergi ke acara ulang tahun Brian.” Jelasnya.
“Emh... “ desahku sambil sedikit tersenyum meski berat.
“Ada yang mau aku tanyain sama kamu, Han.”Kataku.
“Apa, Ndin?”balasnya.
“Rasanya hubungan kita lagi gak baik, apa ada jalan lain buat memperbaiki suasana hubungan kita?” tanyaku.
“Iya, Ndin. Aku juga ngrasa akhir-akhir ini kita sering berantem.” Jawabnya.
“Terus solusinya?” tanyaku.
“Putus.”jawabnya singkat.
Suasana menjadi hening, aku sedikit terisak. Air mata jatuh membasahi pipiku, sakit. Tapi, aku hanya bisa diam. Mungkin itu lebih baik. Hey, jangan cengeng dong Ndin. Batinku. Ponselku yang sedari tadi ada dibangku diambilnya, ditekan-tekan qwerty nya. Entah apa yang dia cari. Aku tetap diam.
“Segitu marahnya kamu sama aku, Ndin? Gara-gara masalah kemarin, nomerku diponselmu kamu hapus? Aku ingin kamu jadi cewek yang mandiri, Ndin. Gak tergantung sama aku, kamu terlalu posesif, aku ingin lihat kamu main sama yang lain juga. Gak cuma sama aku. Sorry Ndin, aku gak bisa selalu ada buat kamu. Itu keputusan yang terbaik, meskipun kita gak pacaran, kita masih bisa jadi teman. Ya, seperti biasanya. Sekali lagi aku minta maaf, Ndin. Aku takut nyakiti kamu lagi. Aku sayang kamu.” Jelasnya.
Aku hanya bisa menunduk. Handi pun pergi meninggalkan ku dan meletakkan ponsel itu disampingku. Oh, Tuhan. Mimpi itu memang harus terjadi rupanya. Segera ku tinggalkan tempat itu, berlari melewati koridor sekolah dan menunggu bus dipinggir jalan. Ku pasang headphone, dan memutar lagu ‘Jar of heart’ sekeras-kerasnya.
***
Iya, itu dua tahun yang lalu. Sekilas bayangan masa lalu itu mengingatkanku. Sekarang aku dan Zian satu ITN, beda Fakuktas. Okelah, setidaknya aku masih punya Zian. Well, Zian, Zian, dan Zian.
“Hai, Ndin... udah selesai desainnya?”tanya Zian.
“Udah, Zi. Gimana sama peraga busananya? Dapat berapa orang? Kenapa gak cari anak di Fakultas kamu aja?” balasku.
“Aku rasa ini aja udah cukup buat launching butik kita minggu depan.”jelasnya.
“Oh, bagus deh.”kataku.
“Selasa depan ada event RHC diSMA kita dulu, kamu datang kan ?”tanya Zian.
“Iya, aku pasti datang. Sudah lama aku gak ketemu Akila, Iqbal, Jo, Gadis dan...”jawabku.
“Handi?”kata Zian.
“Masih ya, Ndin? Kenapa gak kamu coba buka hatimu buat Al?” tanya Zian lagi.
“Ndin, andin...” panggil Zian.
Aku hanya bisa diam. Entahlah, kenapa kenangan masa lalu itu muncul lagi. Aku pun meninggalkan Zian dan keluar dari dalam butik.
***
Malam ini aku dan Zian memutuskan untuk segera pulang ke Surabaya, karena jadwal kuliah kami semester ini telah selesai. Aku sengaja meninggalkan draft busana-busana itu berserakan di meja. Yang ku bawa hanya beberapa undangan launching butikku minggu depan. Ya, dua tahun yang lalu aku dan Zian mempunyai impian, membangun sebuah butik, membuat draft busananya sendiri. Dan akhirnya mimpi itu terwujud.
Semenjak putus dengan Handi, aku mencoba mengalihkan perhatianku. Mencari sesuatu yang lebih membuatku hidup, mencoba bermimpi. Ya, bisa dikatakan aku merasa lebih baik semenjak putus dengannya dua tahun lalu.
Mataku memandang proyek jalan tol yang akan segera dibangun. Semoga proyek itu tidak mengeksploitasi SDA yang ada disekitarnya, tidak mengurangi lahan hijau yang ada. Ya, mungkin hanya tinggal beberapa lahan hijau yang tersisa. Paling tidak itu masih bisa menjaga kota ini dari teriknya matahari dan tidak mengurangi sumber air bersih yang ada.
***
Hari Selasa, Selasa, Selasa ya sekarang. Datang, enggak, datang, enggak, datang, enggak. Enggak, datang, enggak, datang. Aaah, kenapa jadi plin- plan gini?
“Dor...” teriak Bang Aldi.
“Hey, Bang... udah dong. Ini masih pagi.” Kataku
“Lagian, masih pagi udah nglamun.” Ejeknya
“Enggak kok.” Kataku
“Sayang, dari dulu adikku tetep aja blo’onnya.” Jawabnya
“Kak, minggu depan datang ya ke acara launching butikku di Semarang.” Pintaku.
“Iya, asal gratis aja tiket kretanya.” Balasnya.
“Dasar, keluar budget dikit aja Bang. Buat, Andin.” Kataku.
“Iya, iya. Kan ada Ayah sama Ibu juga. Lumayanlah kalau berangkatnya sama mereka.” Jawabnya.
“Dasar pelit.” Kataku sambil meninggalkannya di meja makan.
Mataku kali ini beradu lagi, melihat foto-foto masa laluku bersama Handi. Padahal selama ini aku sudah berusaha melupakannya. Tapi, kenapa perasaan itu muncul lagi sekarang?
***
Senja di kota ini tak pernah berubah, masih sama seperti dua tahun silam.
“Ndin, ditunggu Zian di ruang tamu.” Kata Bang Aldi.
“Iya, Bang bentar.” Balasku.
Ok, Ndin. Kamu harus siap, jangan egois. Belum tentu Handi datang ke acara itu, kalaupun dia datang... Itu dulu, sekarang semuanya sudah berubah. Termasuk, kita.
***
Bangunan sekolah ini, sebagian sudah direnovasi. Tapi, masih ada beberapa bangunan lama. Suasananya masih rindang, seperti hutan. Meskipun malam, mataku masih bisa mengamati bangunan itu dengan seksama. Tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi.
“Hallo...” sapa seseorang disebrang.
“Iya, ada apa Al?” tanyaku.
“Kapan kamu balik ke Semarang, Sayang?” tanyanya.
“Mungkin lusa, dua hari sebelum acara launching butik kami.” Jawabku.
Tiba-tiba, Brukkk... Awww. Mataku masih mencari dimana ponselku jatuh. Dimana? Dimana?
“Cari ini ya?”katanya. Bau parfum itu, jangan-jangan laki-laki yang ada di hadapanku ini Handi. Ya, aku masih hafal bau parfumnya. Oh, Tuhan. Mataku masih tak berani melihatnya dengan jelas.
“Ini.” Katanya sambil menyodorkan ponselku yang jatuh.
“Oh iya, Makasih.” Kataku saraya mengambil ponsel itu dari genggamannya. Aku pun berlari, mencari dimana Zian berada.
“Zi, tega banget ninggalin aku di hall.” Sesalku.
“Sorry, dapat telfon dari siapa tadi?” tanyanya.
“Dari Alif. Syukurlah, Handi belum datang.” Desahku.
“Dia udah datang dari tadi, Ndin. Aku kira tadi kamu ketemu dia di depan.” Jawabnya.
Oh, Tuhan. Benar dugaanku. Dag dig dug, detak jantungku... Semakin kencang, saat aku melihat sosok itu berada didepanku sekarang.
“Andin.” sapa Handi sambil menjabat tanganku.
“Iya.” Kataku. Sadar, Ndin. Kamu sudah punya pacar, Alif. Handi cuma masa lalumu.
“Kapan balik dari Semarang, Ndin?” tanyanya.
“Kemarin, Han.” Jawabku.
“Wah, cinta lama belum kelar nih.” Sindir Gadis.
“Udah, balikan aja.” Kata Jo.
Hey, udah dong. Itu masa lalu, jangan diungkit-ungkit lagi. Batinku.
“Oh ya, aku hampir lupa. Ini undangan launching butikku di Semarang. Aku harap kalian mau datang, ya.” Kataku sambil menyerahkan beberapa lembaran undangan itu.
“Butik ?”tanya Handi heran.
“Iya, ada yang aneh ya ?” Tanyaku.
“Ehm, enggak kok.” Kata Handi.
Huffft, tolonglah... aku ingin segera pergi dari tempat ini. Kemana perginya Zian ?
“Zian udah pulang sama Iqbal, Ndin.”kata Handi. Rupanya laki- laki ini mengerti siapa yang ku cari.
“Hah, tega sekali dia meninggalkanku.” Sesalku.
“Aku yang antar kamu pulang.” Jawabnya.
Ini masa lalu, Han. Ini masa lalu.
***
Semenjak perjalanan matanya tek pernah lengah, sesekali menghadap ke depan. Dan sesekali pula menoleh ke belakang, aku.
“Ndin, masih ingat sama Mie Ayam nya Kang Iman ?” Tanya Handi.
“Iya, kenapa ?” tanyaku balik.
“Mampir yuk ?” jawabnya.
Belum sempat aku menjawab apa-apa, Handi sudah membelokkan motornya ke tempat itu. Tempat dimana dulu kita sering makan siang. Yah, ketemu sama yang berhubungan sama masa lalu lagi. Gimana kamu mau Move On, Ndin ?
“Bang, pesen es jeruknya dua. Mie nya satu.” Kata Handi.
“Hah... kamu cuma pesen satu porsi ?” tanyaku.
Abang penjual pun menyodorkan dua gelas es jeruk dan semangkuk mie ayam ke hadapan kami. Handi pun mengambilkan sepasang sendok dan garpu untukku.
“Satu mangkuk berdua, Han ? ”Tanyaku lagi.
“Iya, seperti waktu SMA dulu.” Katanya ringan.
Entahlah, aku sudah tak ingin banyak bicara lagi dan beralih menikmati mie ayam ini. Renyah sekali tawa Handi malam itu. Tidak ada yang berubah darinya. Bagaimana dengan perasaannya sendiri ?
***
Semenjak event RHC kemarin aku masih meninggalkan sesalku pada Zian. Hari ini terakhir kalinya aku berlibur di Surabaya. Aku dan Zian harus segera kembali ke Semarang untuk mempersiapkan launching butik kami. Baiklah, semoga kenangan di kota ini akan baik-baik saja. Dan aku berharap Handi dan teman-teman yang lain menyempatkan diri berkunjung ke Semarang.
“Ndin, ada titipan surat dari Handi.” Kata Bang Aldi.
“Mana !” kataku seraya mengulurkan tangan dan memintanya.
Sabtu depan aku temui kamu di Semarang. Isi pesan surat itu. Emh, okelah... Mungkin kali ini aku boleh berharap, dia akan menepati janjinya.
***
Malam itu juga, Aku dan Zian bertolak ke Semarang. Tak ketinggalan, abang ku yang satu itu sama sekali tidak mau mengeluarkan budgetnya sedikitpun. Terpaksa, aku yang membayari tiket keretanya kali ini. Sedangkan ayah dan ibu baru bisa berangkat besok pagi. Dingin, meski kaca kereta tertutup rapat. Nada dering ponselku pun membuyarkan lamunanku.
“Hallo, Ndin.” Sapanya.
“Iya, Al.” Kataku.
“Kira-kira jam berapa kalian sampai di stasiun?” tanyanya.
“Mungkin jam 8 pagi.” Balasku.
“Ok, aku jemput kalian disana. Bye...” Katanya.
Percakapan kami tak berlanjut lama. Entahlah, apa ini yang namanya setengah hati ? Bodoh... Apa yang kamu pikirkan, Ndin? ‘Love me completely, or not at all. Let’s not waste time.’ Itu yang pernah Alif katakan. Dan rasanya aku sama sekali tidak peduli.
***
Tepat sekali, jam 8 pagi kami tiba di stasiun. Aku mencari sosok itu di ruang tunggu, ya... Itu Alif. Kami pun menghampirinya. Tak ada percakapan sama sekali saat itu. Okelah, mungkin Zian dan Bang Aldi sedang malas untuk berkutik. Tapi, Alif? Yah, apa boleh buat. Padahal selama setengah tahun kita menjalin hubungan, dia bukan tipe orang yang pendiam, bahkan cuek. Kutarik napas dalam-dalam, dan mencoba untuk memecah kekakuan diantara kami.
“Lagi gak ada job ya, Al?” Tanyaku.
“Iya, Ndin. Aku minta cuti satu minggu.” Jawabnya, dengan tetap fokus menyetir mobilnya.
“Bukannya Ayah kamu lagi banyak proyek, ya?” Tanyaku lagi.
“Iya, tapi minggu ini aku pengen bantu-bantu kamu mempersiapkan launching butik kalian.” Balasnya.
“Oh, gitu ... “ jawabku.
Pandanganku menoleh ke belakang, terlihat Bang Aldi dan Zian terlelap karena lelahnya. Ya, itulah Al. Dia laki-laki yang selalu mensuportku selama ini. Tapi, sayangnya aku belum bisa melupakan perasaanku pada Handi.
***
Sesampainya di rumah, aku segera menyiapkan sarapan untuk mereka. Memasak makanan kesukaan Alif, nasi jagung goreng. Yah, agak nyeleneh memang. Rumah ini disewa oleh keluargaku sejak tiga tahun yang lalu. Dan disinilah aku dan Zian tinggal selama ini.
“Hai, Ndin.” Sapa Bang Aldi.
“Eh, iya Bang. Cepetan sana mandi ! Habis itu, kita sarapan.” Perintahku.
“Iya, iya... tambah bawel aja kamu.” Katanya.
Selesai memasak, aku merapikan dapur dan menyiapkan meja makan untuk kami sarapan pagi itu.
“Ehm, pacar siapa tuh? Rajin bener.” sindir Zian.
“Zian... !” Bentakku.
“Gak pa-pa, Ndin. Dari pada sama Handi. Abu- abu...” Tambah Bang Aldi.
“Hello, tambah ngelantur aja ngomongnya. Dimana, Al ?” tanyaku bingung.
“Ketiduran tuh di ruang tamu.” Jelas Zian.
Mungkin benar jika ia harus meminta cuti dari proyek ayahnya. Rutinitasnya sebagai pekerja kantoran memang sudah banyak menyita waktu istirahatnya. Ya, dia bekerja sebagai arsitek yang terikat kontrak proyek pembangunan hotel dengan ayahnya sendiri. Jelas saja, ayahnya mau tak mau pasti akan memberinya cuti selama satu minggu.
“Al, al...” suaraku pelan.
“Ehm, iya Ndin. Sorry, aku ketiduran.” Katanya lirih.
“Mandi dulu gih, terus sarapan !” perintahku.
“Iya, Sayang.” Katanya.
Sayang ? Ya, kata itu mungkin terlalu manis buatku. Aku, aku yang masih setengah hati.
***
Malamnya aku menyempatkan diri mengunjungi butik kami yang sedang di dekorasi. Aku dan Zian sepakat untuk menyewa event organization.
“Perfect, Ndin. Semuanya siap.” Kata Zian.
“Well, kita pulang aja yuk. Udah malam nih.” Pintaku
“Iya, aku udah kerasa capek banget ! “ Jawabnya.
Kami pun memutuskan untuk segera pulang, melewati jalanan kota Semarang yang semakin ramai saat malam. Pikiranku masih memikirkan Al. Jawaban apa yang bisa aku berikan pada Al. Oh, Tuhan. Bantu aku, bantu aku memilih satu saja yang terbaik untukku.
***
Selamat pagi duniaku, Selamat pagi Handi. Al, mungkin nanti malam aku akan memberi jawaban dari semua pertanyaanmu selama ini. Semua akan baik-baik saja, Andin.
Aku memang berharap Handi datang. Datang, dia pasti datang. Gumamku.
***
Malam ini, launching butik kami akan segera dimulai. Beberapa owner butik di kota ini memenuhi permintaanku untuk datang. Aku melihat Ayah, Ibu, Bang Aldi dan Alif dari kejauhan. Sedangkan Aku dan Zian menyiapkan diri untuk membuka acara malam ini.
Hey, mataku menemukan sosok yang tak asing lagi, Iqbal, Jo, Akila dan Gadis. Mereka datang.
Tapi, Handi ? Emmm, mungkin masih di jalan. Ya, kali ini aku boleh sangat berharap.
Dua jam yang lalu acara launching itu dimulai, semuanya berjalan dengan lancar. Dan kami pun kebanjiran order untuk beberapa acara Carnival di kota ini. Oke, tapi kali ini aku ingin lebih fokus dengan kuliahku. Sayang semester terakhir, dan semua job ini aku membaginya dengan Zian.
***
Aku meninggalkan semua keramaian dalam butik, dan lebih memilih untuk menyendiri di depan pintu. Menunggu seseorang, itu lebih tepatnya.
“Hey... Ndin.” Sapa laki-laki dibelakangku, meski satu tahun terakhir ini aku menggunakan kaca mata. Tapi dari suaranya masih bisa ku kenali. Iya, benar sekali dia datang.
“Hey, Hand.” Sontak saja aku langsung menoleh kebelakang dan memeluknya. Oh, Tuhan. Rasanya seperti dua tahun yang lalu. Andin, sadar... Kamu sedang berada dimana sekarang.
“Eh, Sorry.” Kataku pelan.
“Nungguin aku, ya ?” Tanyanya.
Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan senyuman.
“Ikut aku, yuk.” Ajakku.
“Kemana ? ” Tanya Handi.
“ Udah ikut aja.” Kataku
Aku pun mengajaknya pergi dari tempat itu, setengah berlari. Tapi aku merasa kesulitan untuk berlari, karena gaun yang aku pakai malam ini.
“ Kamu kelihatan lebih cantik, Ndin. Selamat ya, udah jadi owner butik sekarang.” Katanya.
“Iya, Han. Makasih ya, kamu udah datang.” Kataku.
“ Ini, aku punya sesuatu buat kamu.” Balasnya, dengan menyodorkan sebuah bingkisan ke hadapanku.
“Ehm, apa itu ? ” tanyaku heran.
“Udah, kamu buka aja ! ” jawabnya.
Astaga, itu sepasang high heels. Sepasang high heels yang dulu pernah aku lihat di lemari kaca toko sepatu yang pernah aku kunjungi bersama Handi. Tapi, itu dua tahun yang lalu. Apa masih ada sekarang ? Tapi ini ? High heels ini sama persis dengan yang aku lihat waktu itu.
“Ndin...” katanya pelan.
“Eh, iya Han.” Kataku.
“Suka sama high heelsnya ? ” Tanya Handi.
“Darimana kamu dapat high heels itu, Hand ?” tanyaku heran.
“Dari toko sepatu yang pernah kita kunjungi dua tahun yang lalu. Kamu pernah bilang kalau kamu pengen beli sepatu itu. Aku membelinya dua hari kemudian. Sebenernya sih, mau aku kasih saat kamu ulang tahun. Tapi, kita keburu putus. Jadi, aku simpan high heels itu sampai sekarang. Gimana ? Coba dong, apa ukurannya pas ? “ jelasnya.
Akupun memcobanya, dan ternyata high heels itu melekat di kakiku.
“Makasih, Han. Kamu berangkat sama siapa ke sini ? “ tanyaku.
“Sendiri.” Jawabnya singkat sambil tersenyum melihatku memakai high heels itu.
“Kenapa gak bareng sama Jo ? ” tanyaku lagi.
“Jo sama yang lain udah berangkat dua hari yang lalu, sedangkan aku masih ada jadwal kuliah pagi.” Jelasnya.
“Oh, sekali lagi makasih ya Han. Kamu udah mau datang ke sini.” Kataku.
Suasanya pun berubah menjadi lebih hening, dan semilir angin menggerakkan pohon cemara disebelah kami. Tak lama kemudian Handi memecahnya,
“Ndin, aku mau kita balikan lagi ? “ Pintanya.
Aku masih tetap diam, bingung memikirkan kata apa yang pantas aku keluarkan. Aku, tapi bagaimana dengan Al.
“Ndin...” suara Al mengagetkanku.
“Al, aku pergi dulu ya Han.” Kataku sambil menoleh ke belakang.
Derap kakiku lebih memekik lagi, high heels itu kini telah melekat di kakiku. Tangan Al membantuku menaiki anak tangga menuju ruang kerja butik ini. Semua draft itu masih seperti beberapa hari yang lalu saat aku meninggalkan kota ini dan pulang ke Surabaya.
“Itu Handi, ya ? “ Tanya Al.
“Darimana kamu tau ? ” Tanyaku heran.
“Ini, aku menemukan ini di kumpulan draft kamu.” Jelasnya
Oh, Tuhan. Itu coretanku tentang Handi. Dimana aku meletakkannya saja aku lupa. Tapi kenapa itu ada di tangan Al ?
“Ndin, kamu masih sayang sama dia ? ” Tanyanya memperjelas.
“Ndin ... “Panggilnya lagi.
Sedangkan aku masih saja diam, Nothing. Gak ada kata-kata selain ‘Iya, Al’. Batinku.
“Kamu tau kan aku sayang sama kamu, Ndin ? “ bentaknya.
“Al, Maaf... Aku gak bisa bohongin perasaanku lagi.”
Kelihatannya itu cukup jelas bagi Alif untuk mengakhiri percakapan kami.
“Oke.” Katanya sambil menghela napas.
“Temui dia di bawah ! ” Katanya pelan seraya mengelus kepalaku.
Senyumku mengembang, usia kami beda empat tahun. Dan dia memang lebih bijak dalam bertindak. Keputusannya kali ini sangat membuatku senang. Makasih, Al. Alif pun pergi meninggalkanku, sendiri di ruangan itu.
Ponselku berdering,
“Ndin...” sapa seseorang.
“Iya, Al.” Balasku sambil mengusap air mata yang masih sedikit tersisa.
“Malam ini Handi balik ke Surabaya, keretanya berangkat jam 10.” Katanya.
Lemas sekujur tubuhku. Bisa-bisanya laki-laki itu pergi begitu saja. Keretanya berangkat jam 10. Sekarang jam 09.48, 12 menit lagi keretanya berangkat. Sesalku.
***
Aku berlarian mencari Zian dalam banyak kerumunan tamu undangan malam ini. Tapi, tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari belakang. Aku tau siapa sosok laki-laki itu, Al. Senyumnya telah mengembang lagi, dan ia menyerahkan dirinya untuk mengantarku ke stasiun saat itu juga. Mobilnya bergerak lebih gesit lagi, aku tau Al orang yang mematuhi tata tertib berlalu lintas. Namun kali ini ia menghiraukannya, untuk aku. Kurang 2 menit lagi.
Aku segera turun dari mobil dan berlari mencari dimana sosok itu bisa ku temui. Alifpun mengikutiku di belakang. Senyumnya masih terlihat, lebih jalas karena sorot lampu stasiun.
“Kereta jurusan Semarang-Surabaya telah berangkat 3 menit yang lalu.” Kata Al di sampingku. Dia membaca jadwal pemberangkatan malam itu.
“Aku yakin dia belum berangkat, Al.” Kataku yakin.
Mataku mendapati sepasang kaki yang pernah ku temui. Kaki itu, kini kaki itu berdiri dihadapanku lagi.
“Han ... “ teriakku. Aku pun berlari menghampirinya, mendekap tubuhnya yang malam itu menggunakan jaket tebal.
“Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja. Kamu itu nggak jelas, dan aku gak suka sama yang gak jelas. Aku maunya yang jelas-jelas aja. Bisa-bisanya kamu datang ke kehidupanku, lalu kamu pergi. Setelah itu kamu datang, dan kamu mau pergi lagi sesukamu ? “ kataku.
“Aku sayang kamu.” Balasnya.
“Cinta pertama membuat orang itu tumbuh dan cinta kedua melengkapi orang ini.” Kata Al yang sedari tadi berdiri di belakangku.
Senyum itu masih bertahan sampai sekarang. Malam itu juga, semua kebohongan tentang perasaanku pada Al telah berakhir. Aku menemukan kembali sesuatu yang dulu pernah hilang, Handi. Ya, malam ini lebih dari malam-malam kemarin. Gaun yang ku pakai tampak kusuk dari sebelumnya. Aku terpaksa melepas high heels itu karena terlalu lama melekat pada kakiku dan membuat kulitku sedikit lecet. Handi pun mengurungkan niatnya untuk balik ke Surabaya malam itu. Dan kami kembali ke rumah dimana aku tinggal bersama Zian dan Bang Aldi.
Cinta ternyata boleh buta, tapi buta pun harus berlogika.

-Masih Belajar, dan terus belajar berkarya-

Created by : Me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar