Seseorang di
persimpangan
Mengajariku
tentang keikhlasan
Bukan lari dari
masalah
Seseorang di
persimpangan
Mengajariku
melupakan hati yang dulu pernah pilu
Seseorang di
persimpangan itu, kamu.
Bruk, “Aw...”
Kertas yang ku
pegang jatuh. Mataku hanya memandangi sepatunya yang masih tampak baru.
“Hei, kok
bengong sih?” tanyanya.
“Oh, ya.”
Jawabku.
“Ini.”Katanya,
sambil menyodorkan kertasku yang jatuh.
“Tumben kamu
berangkat pagi?” tanyaku
“Oh, iya aku
ada jadwal piket.” Jawabnya
Laki-laki itu,
kita dekat sejak satu setengah tahun yang lalu. Dia Handi.
“Aku ke kelas
dulu, ya?” kataku.
“Oke, nanti
pulang sekolah ada rapat redaksi. Ifa pesan gitu sama aku.” Ingatnya.
“Oh, iya Han.
Tadi Ifa udah sms aku. Makasih udah diingetin.” Kataku.
“Iya,
sama-sama.” Balasnya.
Aku pun
setengah berlari menuju kelas, melewati koridor sekolah yang masih tampak sepi.
Mungkin masih terlalu pagi. Fine, minggu ini aku dikejar deadline lagi. Yah,
harus nglembur lagi buat rubrik mading sekolah.
***
Teng-Teng-Teng...
Setengah hari
disekolah telah ku lewati. Seperti yang lain, aku merapikan mejaku dengan
segera dan meniggalkan kelas bersama Zian. Langkahku sedikit berlari, tapi kata
Zian gak ada bedanya saat aku lari ataupun aku jalan. Yah, mungkin kalau aku
lari. Zian bisa menyamakan langkahnya di sebelahku dengan berjalan. Itulah
Zian, teman sebangkuku. Lebih dari itu, dia seperti saudara perempuanku. Meski
lahir dari Ibu yang berbeda, kadang mereka lebih mengerti diri kita dari pada
saudara kita sendiri. Itu yang pernah ku ucapkan pada Zian.
“Ayo, Ndin!”
perintahnya.
“Ini udah
cepet, Zi.” Sahutku. Aku berjalan di belakangnya, mencoba menyamakan langkah
kakiku dengannya.
“Itu, udah
ditungguin Ifa di gazebo.” Katanya.
“Iya, ya udah
hati – hati kalau pulang. Aku nyamperin Ifa dulu.” Kataku sambil melambaikan
tangan ke arahnya.
Langkahku
menuju ke tempat dimana Ifa duduk. Terlihat dia sedang membolak-balik majalah
yang baru diserahkan oleh editor kemarin.
“Hai, Fa.”
Sapaku.
“Hai, Ndin.
Lama banget, emang jam terakhir tadi jam pelajarannya siapa ?” tanyanya.
“Hehe, biasalah
Fa. Jam pelajaran Biologi.” Jawabku dan sedikit tertawa.
“Ini majalah
yang mau diterbitin, Ndin. Coba kamu baca lagi, menurut kamu gimana sama
covernya ?” pinta Ifa.
“Oh, udah di
kasih editor ya, Fa?” tanyaku sambil membaca majalah itu.
“Kalau menurut
aku sih, udah bagus kok. Ukuran fontnya aja ada yang gak sesuai sama halaman.
Dari pada banyak yang sisa, kenapa gak kita perbanyak aja rubriknya?” Saranku.
“Bener juga
tuh, tapi ditambah rubrik apa lagi ya?” tanya Ifa.
“Wah, kalau itu
cobak kamu tanyak sama kru yang lain. Aku lagi fokus sama mading.” Jawabku
“Yah, Andin. Ya
deh, ntar aku share lagi sama yang lain.” Kata Ifa.
“Kasih aja job
ini ke tim kreatif. Mungkin mereka bisa kasih yang lebih attractive lagi.”
Tegasku.
“Ok deh, ya
udah kalau gitu kita pulang yuk ! Udah sore, pasti kamu udah ditungguin Handi
di depan.” Ajak Ifa.
“Iya fa, gak
kerasa udah sore juga.” Balasku.
Aku dan Ifa pun melangkah menuju gerbang,
ternyata sekolahan ini masih cukup ramai meski hari menjelang senja.
Bangunannya yang sudah tua meniggalkan sisa-sisa air hujan dikoridor sekolah.
Tapi langkahku sama sekali tak peduli, kasihan Handi. Mungkin tampang laki-laki
itu sudah kelihatan kucel karena lama menungguku pulang.
***
Perjalanan dari
sekolah ke rumah menghabiskan waktu yang cukup lama. Dan kita menikmati waktu
senja itu. Aku lebih banyak diam, mengamati langit merah yang lebih dominan di
ujung barat.
“Han, besok
jadi ikut ?” kataku.
“Kemana?” tanyanya.
“Pergi ke situs
sejarah sama Iqbal, Akila, Gadis, sama Jo juga.” Jawabku.
“Jam berapa,
Ndin?” balasnya.
“Pulang
sekolah. Aku tunggu di gazebo, nanti kita berangkat sama yang lain.” Kataku
“Iya.”
Jawabnya.
Suasana hening
kembali terasa sampai di depan rumah. Mata ku memandanginya pergi, sampai ia
benar-benar hilang dari pandanganku.
***
Usai makan
malam, aku mengambil secarik kertas dan pensilku. Lalu aku duduk di teras rumah.
Dan menulis, ...
Hening, Kamu
bukan sekedar nuansaku malam ini. Benda kecil itu yang dulu mempertemukan kita.
Materai, membuat kita lebih dekat. Taukah kamu? Sejak kapan perasaan kita mulai
beradu. Menjajaki kemana nuansa itu berlabuh.Manis, suka, dan duka. Di bawah
terik, ditemani hujan dan kedinginan. Banyak cerita, tentang rasa, dan tentang
kita. Kamu pernah memaksaku memakai jas hujan. Sedang tubuhmu sendiri kaku.
Aku menghela
napas. Merasakan bagaimana dinginnya tubuhmu.Tak ada ucapan yang terlontar
setelah itu. Namun, senyummu cukup meredakan rasa khawatirku. Sayang, semuanya
terlalu singkat. Saat semua itu dipatahkan oleh waktu, hening.
***
Empat jam
kemudian, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku ketempat tidur. Tiba – tiba nada
dering ponselku berbunyi. Ada sms masuk dari Handi.
From: Handi
Ndin,
Received :
10:09 pm
Today
Gak biasanya
Handi sms malam-malam gini,
“Iya, Han. Ada
apa?” balasku.
Lama sekali,
tak ada balasan lagi dari Handi. Lagi trouble mungkin. Okelah, mataku sudah
benar-benar ngantuk sekarang.
***
Pagi ini, KBM
Semester Satu telah berakhir. So, tinggal class meeting. Mungkin jam segini
sekolah masih tampak sepi karena sebagian muridnya memilih untuk berangkat
lebih siang. Dari kejauhan aku mendengar suara seseorang memanggilku.
“Ndin ...”
suara itu, Zian.
“Hai ...”
teriakku sambil melangkah kearah Zian dan Gadis duduk.
“Zi, aku tadi
malem mimpi lagi.” kataku
“Mimpi apa,
Ndin?” tanya Zian.
“Aku mimpi
putus sama Handi.” Kataku.
“Kok mimpi gitu
terus?” tanyanya.
“Iya, Zi. Apa emang
akan kejadian seperti itu, ya?”Jawabku.
“Ya, kita
berdoa aja, Ndin. Kalau itu yang terbaik, mau gak mau kamu harus siap.”
Balasnya.
“Aku juga baru
ngerasa kalau hubungan ku sama Handi lagi pasang surut. Kita lebih sering
berantem akhir-akhir ini.” Kataku.
“Kalau
menurutku kamu terlalu posesif, Ndin. Kurangi dikitlah, sayang. Dia kan juga
butuh kebebasan.” Sarannya.
Seperti itukah
aku selama hampir dua tahun ini. Bukannya Handi yang terlalu sibuk sama
ekskulnya, ikut ekskul inilah, itulah. Batinku.
“Hey, udah dong
gak usah terlalu dipikirin. Handi juga gak mempermasalahkan mimpi kamu kan?”
tanya Zian.
“Enggak juga
sih, nanti aku coba ngomong sama Handi.” Jelasku.
“Yah, apapun
keputusan kalian. Semoga itu yang terbaik ya, Sayang.” Pesannya.
“Hemh...”
desahku sambil menghela napas panjang.
Oh, tidak. Aku
hampir lupa kalau siang ini aku punya janji sama Akila.
***
Class meeting pun
berakhir, aku, Akila, Jo dan teman-teman yang lain menunggu Handi di gazebo.
Kemana dia? Sepasang mataku masih mencarinya. Tak lama kemudian, aku
menemukannya. Aku melihatnya dari jauh. Tapi, kenapa dia gak ke sini? Bukannya
dia sudah janji mau ikut. Kakiku terasa enggan sekali untuk menghampirinya
diantara kerumunan kecil itu. Tiba-tiba aku melihat sosok Egi berjalan di
depanku.
“Gi, kalian mau
kemana?”tanyaku.
“Aku mau ke
acara ulang tahunnya Brian, Ndin.”jelas Egi.
“Sama Handi
juga?”tanyaku lebih jelas.
“Iya, Ndin. Aku
kesana dulu ya !” Kata Egi sambil berlalu meniggalkanku.
Tapi, kenapa
dia sama sekali tak menghubungiku, sekedar sms mungkin. Aku rasa itu cukup.
“Ndin, kita
berangkat tanpa Handi bisa kan?” tanya Jo.
“Emh, bisa
kok.”jawabku.
Kita pun
berangkat, meninggalkan gazebo, bangunan sekolah yang sudah tua itu, tempat
parkir, dan Handi. Entah apa mimpi itu akan jadi kenyataan atau apalah,
terserah. Aku tidak peduli.
***
Sesampainya di
pura, aku hanya mengikuti mereka dari belakang sambil mencoba memotret beberapa
tempat yang aku anggap penting saat itu.
“Ndin, bengong
mulu dari tadi?”Tanya Iqbal.
“Gimana gak
bengong, kan biasanya kemana-mana sama Handi. Sekarang mana Handi nya?”Sindir
Jo.
“Udah dong,
Ndin. Kalian juga perlu waktu buat sendiri. Kamu sama kita-kita, dan Handi sama
teman-temannya.”kata Akila.
“Iya, iya.”
Kataku.
“Foto yuk !”
ajak Akila.
“Di situ aja !”
kata Jo sambil mengarahkan telunjuknya ke anak tangga pura yang kita kunjungi.
“1, 2, 3, Ok.”
Kata Iqbal.
Suasana pura
saat sore tak membuat bangunan itu nampak menyeramkan, hanya saja ada sebagian
tempat yang perlu dirawat dan dijaga lagi kebersihannya. Bangunan ini masih terlihat
kokoh, mungkin ada sebagian dari bangunan itu yang sudah direnovasi dari bentuk
aslinya. Terlihat dari batu bata yang digunakan, serta teknik-teknik penyusunan
gapuranya tampak lebih modern.
***
Sampai dipintu
rumah, Bang Aldi sudah mondar-mandir ke sana ke mari. Dan entahlah, aku merasa
sama sekali tidak bersalah karena pulang sore lagi. Biasanya Ibu yang
mondar-mandir di depan rumah. Tapi, kenapa sekarang jadi ada abang yang siap
buat ngomel-ngomel lagi ? Agrrrh, lengkaplah omelan-omelannya hari ini.
“Dari mana
saja, Ndin.” Tanyanya.
“Ke Pura sama
Iqbal, Akila, dan Jo.” Jawabku.
“Tumben gak sms
abang?” Tanyanya lagi.
“Udah sms Ibu
tadi, Bang.”Jawabku sambil melaluinya.
“Ibu sama ayah
pergi ke Semarang, mungkin lusa baru pulang.”Jelasnya.
“Hah, kenapa
gak kasih tau aku?”tanyaku kaget.
“Salah sendiri,
kenapa ponselmu gak aktif?” katanya.
“Oh, iya
tadi... Ah, udahlah Bang. Andin mau ke kamar dulu.” Balasku.
***
Oh, ya...
rupanya pertanyaan Bang Aldi mengingatkanku... Tapi apa ya? Ponselku, dimana
ponselku? Sama sekali tak ada pesan darinya. Kemana laki-laki satu itu. Biarlah...
Matahari
benar-benar menenggelamkan tubuhnya, mataku tetap mengamati ke luar jendela.
Menikmati bau tanah basahnya gerimis. Well, tubuhku merasa lebih dingin dari
biasanya. Namun tetap saja, jendela masih terbuka lebar. Sedang angin terus
saja berlalu memasukinya, melewati celah-celah besi yang telah nampak usang.
Dan mataku terpejam hingga pagi menjelang.
***
Seharian
kemarin gak ada kabar dari Handi. Ya, ya ya ya... mungkin dia pekan ini lebih
sibuk dari biasanya. Tapi tetap saja aku masih mencari dimana sekarang dia
berada. Nothing. Hey, kemana saja laki-laki itu. Gumamku.
“Ndin,...” sapa
seseorang dibelakangku.
“Hey, Han...”
sudah, cuma itu saja yang bisa aku lontarkan, hatiku tak sampai untuk
menanyakan kemana saja dia kemarin.
“Maaf ya, kemarin
aku gak sempet kasih kabar ke kamu. Kemarin aku pergi ke acara ulang tahun
Brian.” Jelasnya.
“Emh... “
desahku sambil sedikit tersenyum meski berat.
“Ada yang mau
aku tanyain sama kamu, Han.”Kataku.
“Apa,
Ndin?”balasnya.
“Rasanya
hubungan kita lagi gak baik, apa ada jalan lain buat memperbaiki suasana
hubungan kita?” tanyaku.
“Iya, Ndin. Aku
juga ngrasa akhir-akhir ini kita sering berantem.” Jawabnya.
“Terus
solusinya?” tanyaku.
“Putus.”jawabnya
singkat.
Suasana menjadi
hening, aku sedikit terisak. Air mata jatuh membasahi pipiku, sakit. Tapi, aku
hanya bisa diam. Mungkin itu lebih baik. Hey, jangan cengeng dong Ndin.
Batinku. Ponselku yang sedari tadi ada dibangku diambilnya, ditekan-tekan
qwerty nya. Entah apa yang dia cari. Aku tetap diam.
“Segitu
marahnya kamu sama aku, Ndin? Gara-gara masalah kemarin, nomerku diponselmu
kamu hapus? Aku ingin kamu jadi cewek yang mandiri, Ndin. Gak tergantung sama
aku, kamu terlalu posesif, aku ingin lihat kamu main sama yang lain juga. Gak
cuma sama aku. Sorry Ndin, aku gak bisa selalu ada buat kamu. Itu keputusan
yang terbaik, meskipun kita gak pacaran, kita masih bisa jadi teman. Ya,
seperti biasanya. Sekali lagi aku minta maaf, Ndin. Aku takut nyakiti kamu
lagi. Aku sayang kamu.” Jelasnya.
Aku hanya bisa
menunduk. Handi pun pergi meninggalkan ku dan meletakkan ponsel itu
disampingku. Oh, Tuhan. Mimpi itu memang harus terjadi rupanya. Segera ku
tinggalkan tempat itu, berlari melewati koridor sekolah dan menunggu bus
dipinggir jalan. Ku pasang headphone, dan memutar lagu ‘Jar of heart’
sekeras-kerasnya.
***
Iya, itu dua
tahun yang lalu. Sekilas bayangan masa lalu itu mengingatkanku. Sekarang aku
dan Zian satu ITN, beda Fakuktas. Okelah, setidaknya aku masih punya Zian.
Well, Zian, Zian, dan Zian.
“Hai, Ndin...
udah selesai desainnya?”tanya Zian.
“Udah, Zi.
Gimana sama peraga busananya? Dapat berapa orang? Kenapa gak cari anak di
Fakultas kamu aja?” balasku.
“Aku rasa ini
aja udah cukup buat launching butik kita minggu depan.”jelasnya.
“Oh, bagus deh.”kataku.
“Selasa depan
ada event RHC diSMA kita dulu, kamu datang kan ?”tanya Zian.
“Iya, aku pasti
datang. Sudah lama aku gak ketemu Akila, Iqbal, Jo, Gadis dan...”jawabku.
“Handi?”kata
Zian.
“Masih ya,
Ndin? Kenapa gak kamu coba buka hatimu buat Al?” tanya Zian lagi.
“Ndin,
andin...” panggil Zian.
Aku hanya bisa
diam. Entahlah, kenapa kenangan masa lalu itu muncul lagi. Aku pun meninggalkan
Zian dan keluar dari dalam butik.
***
Malam ini aku
dan Zian memutuskan untuk segera pulang ke Surabaya, karena jadwal kuliah kami
semester ini telah selesai. Aku sengaja meninggalkan draft busana-busana itu
berserakan di meja. Yang ku bawa hanya beberapa undangan launching butikku
minggu depan. Ya, dua tahun yang lalu aku dan Zian mempunyai impian, membangun
sebuah butik, membuat draft busananya sendiri. Dan akhirnya mimpi itu terwujud.
Semenjak putus
dengan Handi, aku mencoba mengalihkan perhatianku. Mencari sesuatu yang lebih
membuatku hidup, mencoba bermimpi. Ya, bisa dikatakan aku merasa lebih baik
semenjak putus dengannya dua tahun lalu.
Mataku
memandang proyek jalan tol yang akan segera dibangun. Semoga proyek itu tidak
mengeksploitasi SDA yang ada disekitarnya, tidak mengurangi lahan hijau yang
ada. Ya, mungkin hanya tinggal beberapa lahan hijau yang tersisa. Paling tidak
itu masih bisa menjaga kota ini dari teriknya matahari dan tidak mengurangi
sumber air bersih yang ada.
***
Hari Selasa,
Selasa, Selasa ya sekarang. Datang, enggak, datang, enggak, datang, enggak. Enggak,
datang, enggak, datang. Aaah, kenapa jadi plin- plan gini?
“Dor...” teriak
Bang Aldi.
“Hey, Bang...
udah dong. Ini masih pagi.” Kataku
“Lagian, masih
pagi udah nglamun.” Ejeknya
“Enggak kok.”
Kataku
“Sayang, dari
dulu adikku tetep aja blo’onnya.” Jawabnya
“Kak, minggu
depan datang ya ke acara launching butikku di Semarang.” Pintaku.
“Iya, asal
gratis aja tiket kretanya.” Balasnya.
“Dasar, keluar
budget dikit aja Bang. Buat, Andin.” Kataku.
“Iya, iya. Kan
ada Ayah sama Ibu juga. Lumayanlah kalau berangkatnya sama mereka.” Jawabnya.
“Dasar pelit.”
Kataku sambil meninggalkannya di meja makan.
Mataku kali ini
beradu lagi, melihat foto-foto masa laluku bersama Handi. Padahal selama ini
aku sudah berusaha melupakannya. Tapi, kenapa perasaan itu muncul lagi
sekarang?
***
Senja di kota
ini tak pernah berubah, masih sama seperti dua tahun silam.
“Ndin, ditunggu
Zian di ruang tamu.” Kata Bang Aldi.
“Iya, Bang
bentar.” Balasku.
Ok, Ndin. Kamu
harus siap, jangan egois. Belum tentu Handi datang ke acara itu, kalaupun dia
datang... Itu dulu, sekarang semuanya sudah berubah. Termasuk, kita.
***
Bangunan sekolah
ini, sebagian sudah direnovasi. Tapi, masih ada beberapa bangunan lama.
Suasananya masih rindang, seperti hutan. Meskipun malam, mataku masih bisa
mengamati bangunan itu dengan seksama. Tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi.
“Hallo...” sapa
seseorang disebrang.
“Iya, ada apa
Al?” tanyaku.
“Kapan kamu
balik ke Semarang, Sayang?” tanyanya.
“Mungkin lusa,
dua hari sebelum acara launching butik kami.” Jawabku.
Tiba-tiba,
Brukkk... Awww. Mataku masih mencari dimana ponselku jatuh. Dimana? Dimana?
“Cari ini
ya?”katanya. Bau parfum itu, jangan-jangan laki-laki yang ada di hadapanku ini
Handi. Ya, aku masih hafal bau parfumnya. Oh, Tuhan. Mataku masih tak berani
melihatnya dengan jelas.
“Ini.” Katanya
sambil menyodorkan ponselku yang jatuh.
“Oh iya,
Makasih.” Kataku saraya mengambil ponsel itu dari genggamannya. Aku pun
berlari, mencari dimana Zian berada.
“Zi, tega banget
ninggalin aku di hall.” Sesalku.
“Sorry, dapat
telfon dari siapa tadi?” tanyanya.
“Dari Alif.
Syukurlah, Handi belum datang.” Desahku.
“Dia udah
datang dari tadi, Ndin. Aku kira tadi kamu ketemu dia di depan.” Jawabnya.
Oh, Tuhan.
Benar dugaanku. Dag dig dug, detak jantungku... Semakin kencang, saat aku
melihat sosok itu berada didepanku sekarang.
“Andin.” sapa
Handi sambil menjabat tanganku.
“Iya.” Kataku.
Sadar, Ndin. Kamu sudah punya pacar, Alif. Handi cuma masa lalumu.
“Kapan balik
dari Semarang, Ndin?” tanyanya.
“Kemarin, Han.”
Jawabku.
“Wah, cinta lama
belum kelar nih.” Sindir Gadis.
“Udah, balikan
aja.” Kata Jo.
Hey, udah dong.
Itu masa lalu, jangan diungkit-ungkit lagi. Batinku.
“Oh ya, aku
hampir lupa. Ini undangan launching butikku di Semarang. Aku harap kalian mau datang,
ya.” Kataku sambil menyerahkan beberapa lembaran undangan itu.
“Butik ?”tanya
Handi heran.
“Iya, ada yang
aneh ya ?” Tanyaku.
“Ehm, enggak
kok.” Kata Handi.
Huffft,
tolonglah... aku ingin segera pergi dari tempat ini. Kemana perginya Zian ?
“Zian udah
pulang sama Iqbal, Ndin.”kata Handi. Rupanya laki- laki ini mengerti siapa yang
ku cari.
“Hah, tega
sekali dia meninggalkanku.” Sesalku.
“Aku yang antar
kamu pulang.” Jawabnya.
Ini masa lalu,
Han. Ini masa lalu.
***
Semenjak
perjalanan matanya tek pernah lengah, sesekali menghadap ke depan. Dan sesekali
pula menoleh ke belakang, aku.
“Ndin, masih
ingat sama Mie Ayam nya Kang Iman ?” Tanya Handi.
“Iya, kenapa ?”
tanyaku balik.
“Mampir yuk ?”
jawabnya.
Belum sempat
aku menjawab apa-apa, Handi sudah membelokkan motornya ke tempat itu. Tempat
dimana dulu kita sering makan siang. Yah, ketemu sama yang berhubungan sama
masa lalu lagi. Gimana kamu mau Move On, Ndin ?
“Bang, pesen es
jeruknya dua. Mie nya satu.” Kata Handi.
“Hah... kamu
cuma pesen satu porsi ?” tanyaku.
Abang penjual
pun menyodorkan dua gelas es jeruk dan semangkuk mie ayam ke hadapan kami.
Handi pun mengambilkan sepasang sendok dan garpu untukku.
“Satu mangkuk
berdua, Han ? ”Tanyaku lagi.
“Iya, seperti
waktu SMA dulu.” Katanya ringan.
Entahlah, aku
sudah tak ingin banyak bicara lagi dan beralih menikmati mie ayam ini. Renyah
sekali tawa Handi malam itu. Tidak ada yang berubah darinya. Bagaimana dengan
perasaannya sendiri ?
***
Semenjak event
RHC kemarin aku masih meninggalkan sesalku pada Zian. Hari ini terakhir kalinya
aku berlibur di Surabaya. Aku dan Zian harus segera kembali ke Semarang untuk
mempersiapkan launching butik kami. Baiklah, semoga kenangan di kota ini akan
baik-baik saja. Dan aku berharap Handi dan teman-teman yang lain menyempatkan
diri berkunjung ke Semarang.
“Ndin, ada
titipan surat dari Handi.” Kata Bang Aldi.
“Mana !” kataku
seraya mengulurkan tangan dan memintanya.
Sabtu depan aku
temui kamu di Semarang. Isi pesan surat itu. Emh, okelah... Mungkin kali ini
aku boleh berharap, dia akan menepati janjinya.
***
Malam itu juga,
Aku dan Zian bertolak ke Semarang. Tak ketinggalan, abang ku yang satu itu sama
sekali tidak mau mengeluarkan budgetnya sedikitpun. Terpaksa, aku yang
membayari tiket keretanya kali ini. Sedangkan ayah dan ibu baru bisa berangkat
besok pagi. Dingin, meski kaca kereta tertutup rapat. Nada dering ponselku pun
membuyarkan lamunanku.
“Hallo, Ndin.”
Sapanya.
“Iya, Al.”
Kataku.
“Kira-kira jam
berapa kalian sampai di stasiun?” tanyanya.
“Mungkin jam 8
pagi.” Balasku.
“Ok, aku jemput
kalian disana. Bye...” Katanya.
Percakapan kami
tak berlanjut lama. Entahlah, apa ini yang namanya setengah hati ? Bodoh... Apa
yang kamu pikirkan, Ndin? ‘Love me completely, or not at all. Let’s not waste
time.’ Itu yang pernah Alif katakan. Dan rasanya aku sama sekali tidak peduli.
***
Tepat sekali,
jam 8 pagi kami tiba di stasiun. Aku mencari sosok itu di ruang tunggu, ya...
Itu Alif. Kami pun menghampirinya. Tak ada percakapan sama sekali saat itu.
Okelah, mungkin Zian dan Bang Aldi sedang malas untuk berkutik. Tapi, Alif?
Yah, apa boleh buat. Padahal selama setengah tahun kita menjalin hubungan, dia
bukan tipe orang yang pendiam, bahkan cuek. Kutarik napas dalam-dalam, dan
mencoba untuk memecah kekakuan diantara kami.
“Lagi gak ada
job ya, Al?” Tanyaku.
“Iya, Ndin. Aku
minta cuti satu minggu.” Jawabnya, dengan tetap fokus menyetir mobilnya.
“Bukannya Ayah
kamu lagi banyak proyek, ya?” Tanyaku lagi.
“Iya, tapi
minggu ini aku pengen bantu-bantu kamu mempersiapkan launching butik kalian.”
Balasnya.
“Oh, gitu ... “
jawabku.
Pandanganku
menoleh ke belakang, terlihat Bang Aldi dan Zian terlelap karena lelahnya. Ya,
itulah Al. Dia laki-laki yang selalu mensuportku selama ini. Tapi, sayangnya
aku belum bisa melupakan perasaanku pada Handi.
***
Sesampainya di
rumah, aku segera menyiapkan sarapan untuk mereka. Memasak makanan kesukaan
Alif, nasi jagung goreng. Yah, agak nyeleneh memang. Rumah ini disewa oleh
keluargaku sejak tiga tahun yang lalu. Dan disinilah aku dan Zian tinggal
selama ini.
“Hai, Ndin.”
Sapa Bang Aldi.
“Eh, iya Bang.
Cepetan sana mandi ! Habis itu, kita sarapan.” Perintahku.
“Iya, iya...
tambah bawel aja kamu.” Katanya.
Selesai
memasak, aku merapikan dapur dan menyiapkan meja makan untuk kami sarapan pagi
itu.
“Ehm, pacar
siapa tuh? Rajin bener.” sindir Zian.
“Zian... !”
Bentakku.
“Gak pa-pa,
Ndin. Dari pada sama Handi. Abu- abu...” Tambah Bang Aldi.
“Hello, tambah
ngelantur aja ngomongnya. Dimana, Al ?” tanyaku bingung.
“Ketiduran tuh
di ruang tamu.” Jelas Zian.
Mungkin benar
jika ia harus meminta cuti dari proyek ayahnya. Rutinitasnya sebagai pekerja
kantoran memang sudah banyak menyita waktu istirahatnya. Ya, dia bekerja
sebagai arsitek yang terikat kontrak proyek pembangunan hotel dengan ayahnya
sendiri. Jelas saja, ayahnya mau tak mau pasti akan memberinya cuti selama satu
minggu.
“Al, al...”
suaraku pelan.
“Ehm, iya Ndin.
Sorry, aku ketiduran.” Katanya lirih.
“Mandi dulu
gih, terus sarapan !” perintahku.
“Iya, Sayang.”
Katanya.
Sayang ? Ya,
kata itu mungkin terlalu manis buatku. Aku, aku yang masih setengah hati.
***
Malamnya aku
menyempatkan diri mengunjungi butik kami yang sedang di dekorasi. Aku dan Zian
sepakat untuk menyewa event organization.
“Perfect, Ndin.
Semuanya siap.” Kata Zian.
“Well, kita
pulang aja yuk. Udah malam nih.” Pintaku
“Iya, aku udah
kerasa capek banget ! “ Jawabnya.
Kami pun
memutuskan untuk segera pulang, melewati jalanan kota Semarang yang semakin
ramai saat malam. Pikiranku masih memikirkan Al. Jawaban apa yang bisa aku
berikan pada Al. Oh, Tuhan. Bantu aku, bantu aku memilih satu saja yang terbaik
untukku.
***
Selamat pagi
duniaku, Selamat pagi Handi. Al, mungkin nanti malam aku akan memberi jawaban
dari semua pertanyaanmu selama ini. Semua akan baik-baik saja, Andin.
Aku memang
berharap Handi datang. Datang, dia pasti datang. Gumamku.
***
Malam ini,
launching butik kami akan segera dimulai. Beberapa owner butik di kota ini
memenuhi permintaanku untuk datang. Aku melihat Ayah, Ibu, Bang Aldi dan Alif
dari kejauhan. Sedangkan Aku dan Zian menyiapkan diri untuk membuka acara malam
ini.
Hey, mataku
menemukan sosok yang tak asing lagi, Iqbal, Jo, Akila dan Gadis. Mereka datang.
Tapi, Handi ?
Emmm, mungkin masih di jalan. Ya, kali ini aku boleh sangat berharap.
Dua jam yang
lalu acara launching itu dimulai, semuanya berjalan dengan lancar. Dan kami pun
kebanjiran order untuk beberapa acara Carnival di kota ini. Oke, tapi kali ini
aku ingin lebih fokus dengan kuliahku. Sayang semester terakhir, dan semua job
ini aku membaginya dengan Zian.
***
Aku
meninggalkan semua keramaian dalam butik, dan lebih memilih untuk menyendiri di
depan pintu. Menunggu seseorang, itu lebih tepatnya.
“Hey... Ndin.”
Sapa laki-laki dibelakangku, meski satu tahun terakhir ini aku menggunakan kaca
mata. Tapi dari suaranya masih bisa ku kenali. Iya, benar sekali dia datang.
“Hey, Hand.”
Sontak saja aku langsung menoleh kebelakang dan memeluknya. Oh, Tuhan. Rasanya
seperti dua tahun yang lalu. Andin, sadar... Kamu sedang berada dimana
sekarang.
“Eh, Sorry.”
Kataku pelan.
“Nungguin aku,
ya ?” Tanyanya.
Aku hanya menjawab
pertanyaannya dengan senyuman.
“Ikut aku,
yuk.” Ajakku.
“Kemana ? ”
Tanya Handi.
“ Udah ikut
aja.” Kataku
Aku pun
mengajaknya pergi dari tempat itu, setengah berlari. Tapi aku merasa kesulitan
untuk berlari, karena gaun yang aku pakai malam ini.
“ Kamu
kelihatan lebih cantik, Ndin. Selamat ya, udah jadi owner butik sekarang.”
Katanya.
“Iya, Han.
Makasih ya, kamu udah datang.” Kataku.
“ Ini, aku punya
sesuatu buat kamu.” Balasnya, dengan menyodorkan sebuah bingkisan ke hadapanku.
“Ehm, apa itu ?
” tanyaku heran.
“Udah, kamu
buka aja ! ” jawabnya.
Astaga, itu
sepasang high heels. Sepasang high heels yang dulu pernah aku lihat di lemari
kaca toko sepatu yang pernah aku kunjungi bersama Handi. Tapi, itu dua tahun
yang lalu. Apa masih ada sekarang ? Tapi ini ? High heels ini sama persis
dengan yang aku lihat waktu itu.
“Ndin...”
katanya pelan.
“Eh, iya Han.”
Kataku.
“Suka sama high
heelsnya ? ” Tanya Handi.
“Darimana kamu
dapat high heels itu, Hand ?” tanyaku heran.
“Dari toko
sepatu yang pernah kita kunjungi dua tahun yang lalu. Kamu pernah bilang kalau
kamu pengen beli sepatu itu. Aku membelinya dua hari kemudian. Sebenernya sih,
mau aku kasih saat kamu ulang tahun. Tapi, kita keburu putus. Jadi, aku simpan
high heels itu sampai sekarang. Gimana ? Coba dong, apa ukurannya pas ? “
jelasnya.
Akupun
memcobanya, dan ternyata high heels itu melekat di kakiku.
“Makasih, Han.
Kamu berangkat sama siapa ke sini ? “ tanyaku.
“Sendiri.”
Jawabnya singkat sambil tersenyum melihatku memakai high heels itu.
“Kenapa gak bareng
sama Jo ? ” tanyaku lagi.
“Jo sama yang
lain udah berangkat dua hari yang lalu, sedangkan aku masih ada jadwal kuliah
pagi.” Jelasnya.
“Oh, sekali
lagi makasih ya Han. Kamu udah mau datang ke sini.” Kataku.
Suasanya pun
berubah menjadi lebih hening, dan semilir angin menggerakkan pohon cemara
disebelah kami. Tak lama kemudian Handi memecahnya,
“Ndin, aku mau
kita balikan lagi ? “ Pintanya.
Aku masih tetap
diam, bingung memikirkan kata apa yang pantas aku keluarkan. Aku, tapi
bagaimana dengan Al.
“Ndin...” suara
Al mengagetkanku.
“Al, aku pergi
dulu ya Han.” Kataku sambil menoleh ke belakang.
Derap kakiku
lebih memekik lagi, high heels itu kini telah melekat di kakiku. Tangan Al
membantuku menaiki anak tangga menuju ruang kerja butik ini. Semua draft itu
masih seperti beberapa hari yang lalu saat aku meninggalkan kota ini dan pulang
ke Surabaya.
“Itu Handi, ya
? “ Tanya Al.
“Darimana kamu
tau ? ” Tanyaku heran.
“Ini, aku
menemukan ini di kumpulan draft kamu.” Jelasnya
Oh, Tuhan. Itu
coretanku tentang Handi. Dimana aku meletakkannya saja aku lupa. Tapi kenapa
itu ada di tangan Al ?
“Ndin, kamu
masih sayang sama dia ? ” Tanyanya memperjelas.
“Ndin ...
“Panggilnya lagi.
Sedangkan aku
masih saja diam, Nothing. Gak ada kata-kata selain ‘Iya, Al’. Batinku.
“Kamu tau kan
aku sayang sama kamu, Ndin ? “ bentaknya.
“Al, Maaf...
Aku gak bisa bohongin perasaanku lagi.”
Kelihatannya
itu cukup jelas bagi Alif untuk mengakhiri percakapan kami.
“Oke.” Katanya
sambil menghela napas.
“Temui dia di
bawah ! ” Katanya pelan seraya mengelus kepalaku.
Senyumku mengembang,
usia kami beda empat tahun. Dan dia memang lebih bijak dalam bertindak.
Keputusannya kali ini sangat membuatku senang. Makasih, Al. Alif pun pergi
meninggalkanku, sendiri di ruangan itu.
Ponselku
berdering,
“Ndin...” sapa
seseorang.
“Iya, Al.”
Balasku sambil mengusap air mata yang masih sedikit tersisa.
“Malam ini
Handi balik ke Surabaya, keretanya berangkat jam 10.” Katanya.
Lemas sekujur
tubuhku. Bisa-bisanya laki-laki itu pergi begitu saja. Keretanya berangkat jam
10. Sekarang jam 09.48, 12 menit lagi keretanya berangkat. Sesalku.
***
Aku berlarian
mencari Zian dalam banyak kerumunan tamu undangan malam ini. Tapi, tiba-tiba
ada yang menarik tanganku dari belakang. Aku tau siapa sosok laki-laki itu, Al.
Senyumnya telah mengembang lagi, dan ia menyerahkan dirinya untuk mengantarku
ke stasiun saat itu juga. Mobilnya bergerak lebih gesit lagi, aku tau Al orang
yang mematuhi tata tertib berlalu lintas. Namun kali ini ia menghiraukannya,
untuk aku. Kurang 2 menit lagi.
Aku segera
turun dari mobil dan berlari mencari dimana sosok itu bisa ku temui. Alifpun
mengikutiku di belakang. Senyumnya masih terlihat, lebih jalas karena sorot
lampu stasiun.
“Kereta jurusan
Semarang-Surabaya telah berangkat 3 menit yang lalu.” Kata Al di sampingku. Dia
membaca jadwal pemberangkatan malam itu.
“Aku yakin dia
belum berangkat, Al.” Kataku yakin.
Mataku
mendapati sepasang kaki yang pernah ku temui. Kaki itu, kini kaki itu berdiri
dihadapanku lagi.
“Han ... “
teriakku. Aku pun berlari menghampirinya, mendekap tubuhnya yang malam itu
menggunakan jaket tebal.
“Bisa-bisanya
kamu pergi begitu saja. Kamu itu nggak jelas, dan aku gak suka sama yang gak
jelas. Aku maunya yang jelas-jelas aja. Bisa-bisanya kamu datang ke kehidupanku,
lalu kamu pergi. Setelah itu kamu datang, dan kamu mau pergi lagi sesukamu ? “
kataku.
“Aku sayang
kamu.” Balasnya.
“Cinta pertama
membuat orang itu tumbuh dan cinta kedua melengkapi orang ini.” Kata Al yang
sedari tadi berdiri di belakangku.
Senyum itu
masih bertahan sampai sekarang. Malam itu juga, semua kebohongan tentang
perasaanku pada Al telah berakhir. Aku menemukan kembali sesuatu yang dulu
pernah hilang, Handi. Ya, malam ini lebih dari malam-malam kemarin. Gaun yang
ku pakai tampak kusuk dari sebelumnya. Aku terpaksa melepas high heels itu
karena terlalu lama melekat pada kakiku dan membuat kulitku sedikit lecet.
Handi pun mengurungkan niatnya untuk balik ke Surabaya malam itu. Dan kami
kembali ke rumah dimana aku tinggal bersama Zian dan Bang Aldi.
Cinta ternyata
boleh buta, tapi buta pun harus berlogika.
-Masih Belajar,
dan terus belajar berkarya-
Created by : Me
Created by : Me
Tidak ada komentar:
Posting Komentar